Cinta yang rumit karena Nikah Beda Agama Talak Tiga atau Pindah Agama?
Cinta yang rumit karena Nikah Beda Agama Talak Tiga atau Pindah Agama
MOJOK-Benny diminta untuk menjatuhkan talak tiga kepada istrinya, Ayu, saat mereka mengajukan pembuatan Kartu Keluarga baru setelah pindah domisili. Pernikahan Benny dan Ayu dianggap tidak sah karena keduanya berbeda agama.
Benny dan Ayu (bukan nama sebenarnya) menikah secara Katolik dengan dispensasi dari gereja. Mereka resmi menikah di Yogyakarta pada 2017 dan pernikahannya sudah tercatat di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) setempat.
Mereka menuju hari pernikahan tidak mudah karena harus mempersiapkan semua keluarga terlebih dahulu agar tidak menimbulkan kontroversi.
"Kami pikir setelah menikah beda agama selesai, dengan keluarga yang sudah disetujui, tidak ada yang merasa terganjal, itu selesai. Ternyata tidak," kata Benny melalui sambungan telepon beberapa waktu lalu.
Masalah muncul ketika Benny dan istrinya memutuskan pindah ke Depok, Jawa Barat, karena Benny sudah membeli rumah di kawasan itu. Ketika hendak mengajukan permohonan Kartu Keluarga pada 2018 lalu, dia ditolak oleh kecamatan setempat. Benny diminta mengurus ke kelurahan terlebih dahulu.
"Ini kan bapak Katolik ya, ibu Muslim, terus nikahnya kemarin bagaimana? Ibu harus pindah ke Katolik dong? Kok bisa ya?" kata Benny menirukan pertanyaan lurah kepada dirinya. Menurut sang lurah, pasangan yang menikah harus satu agama.
Argumen tersebut, kata Benny, mengacu pada Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1, yang berbunyi, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu".
"Itu saya berdebat sedikit dengan undang-undang yang akan mengatur orang-orang yang akan menyetujui. Karena itu, karena akan menyetujui setelah masing-masing agama menyetujui," ujar Benny menyetujui pasal tersebut.
Staf kelurahan kemudian meminta Benny mendatangi kantor wali kota, tepatnya di unit Dukcapil, untuk menyelesaikan masalah tersebut.
"Prosesnya tuh memang panjang dan melelahkan karena bolak-balik. Pada akhirnya saya bertemu sama pejabat di atasnya. Pada akhirnya, beliau tidak mau memunculkan solusi, tetapi malah kami cek ke departemen agama dulu untuk talak tiga. Ini kan salah satu yang konyol menurut saya ," ujar dia.
Penasaran dengan proses yang terjadi selanjutnya, Benny dan Ayu pun mendatangi Kantor Urusan Agama dan melakukan apa yang diminta oleh pejabat di kantor wali kota. Namun, Kantor Urusan Agama menolak proposal talak tiga itu karena Benny dan Ayu memang tidak mau bercerai.
Merasa masalah tidak terpecahkan, meminta pejabat Dukcapil kemudian salah satu dari mereka pindah agama.
"Lagi-lagi balik ke Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Lama-lama saya berpikir ini sepertinya harus ada revisi undang-undang atau bagaimana ya?" kata laki-laki yang berusia 30-an tahun itu.
Menggugat UU Perkawinan
Undang-undang pernikahan tepat setelah resmi menikah, Ramos Petege undang-undang pernikahan sebelum menikah. Ramos yang beragama Katolik, gagal menikahi kekasihnya yang beragama Islam menurut keluarga kekasihnya, karena larangan pernikahan yang berbeda agama.
Dari kegagalan itu, akhirnya pada Februari lalu Ramos menggugat Undang-undang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi. Dia mengajukan uji materiil pada pasal 2 ayat 1 dan 2, serta pasal 8 f Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang telah diubah dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019.
"Pasal dua itu memang multitafsir sehingga sipil ini mewakili negara catatan itu dengan beragam. Kalau orang paham baik dengan konsep HAM, pasti terima karena ini urusan administratif. Tidak mengganggu agama siapa-siapa," kata Ramos kepada BBC News Indonesia
"Ini setiap kebebasan orang, tidak dibatasi oleh agama atau kelompok tertentu."
Ramos sudah menjalani sidang pertama dan Mahkamah Konstitusi meminta dia, sebagai pemohon, memperbaiki fokus gugatannya sampai tenggat 29 Maret. Sidang selanjutnya baru bisa ditentukan kemudian.
Sebelum Ramos, pada 2014 lalu, pasal 2 ayat 1 pada Undang-undang Perkawinan juga pernah digugat. Namun, gugatan itu ditolak karena Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa permohonan tidak beralasan menurut hukum.
Meski nasib pemohon kala itu tidak terlalu baik, Ramos tetap maju dengan gugatannya. Dia tidak ingin ada orang-orang yang bernasib sama seperti dirinya.
Konselor pernikahan beda agama, yang juga merupakan Program Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Ahmad Nurcholish, mengatakan tidak semua Dinas Dukcapil mau mencatatkan pernikahan beda agama. Ahmad mengungkap hanya Salatiga dan Yogyakarta saja yang selalu mengakui pernikahan beda agama.
Tak jarang Nurcholish harus berkreasi dengan para staf di Disdukcapil tertentu agar bisa mencatatkan pernikahan beda agama yang dia bantu. Namun, hasil advokasi itu bisa jadi tidak akan berlangsung lama ketika terjadi pergantian pejabat setempat.
"Pada akhirnya kita ini ada rasa lelah juga karena hampir setiap hari harus melakukan itu," kata Nurcholish.
Ketika mengalami kebuntuan, Nurcholish mengatakan biasanya pasangan diminta untuk "menyamakan agama".
"Malah sebagian Dukcapil itu, dari mulai kelurahan biasanya menyarankannya begini, 'Mulai saja, kalian itu disamakan saja dulu agama di KTP, nanti setelah menikah bisa diubah lagi'" ujar Nurcholish menceritakan pengalamannya.
"Justru itu yang disebut mempermainkan agama sebenarnya, kan."
Padahal Nurcholish menilai pasangan beda agama sudah memiliki kesadaran untuk menghormati keyakinan masing-masing, tetapi para aparatur sipil negara, menurut Nurcholish, tidak bisa memahami cara seperti itu.
Dirjen Dukcapil Kementerian dalam negeri Zudan Arif mengakui adanya ketidakseragaman tafsir di berbagai daerah. Selama ini, kata Zudan, Dukcapil mencatatkan pernikahan beda agama melalui penetapan penetapan. Hal itu dilakukan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400k/pdt/1986.
Namun, untuk mendapatkan kepastian di tengah polemik nikah beda agama yang sering kali muncul, Kementerian Dalam Negeri kembali meminta kepastian kepada Mahkamah Agung mengenai nikah beda agama.
"Minggu lalu kami kirim suratnya. Belum ada balasan. Tapi kami sudah satu suara, mengikuti Undang-undang Adminduk pasal 35, pencatatan yang berbeda agama harus menetapkan penetapan pengadilan," kata Zudan pada Rabu (30/3).
Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: a. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan b. perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan Warga Negara Asing yang bersangkutan.
Sudah harus direvisi
Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanthi menilai Undang-undang Perkawinan memang sudah direvisi karena masih terus menimbulkan kontroversi.
"Cukup banyak kerepotan-kerepotan karena agama punya tafsir yang berbeda. Jadi saya kira itu menimbulkan perbedaan pendapat yang terlalu tajam, lebih baik pasal itu memang tidak ada," kata Bivitri.
Dia menjelaskan di sebagian besar negara di dunia ini, kecuali negara Islam, tidak ada yang dikaitkan dengan perkawinan secara hukum.
"Menikah itu kan sebenarnya Hak Asasi Manusia, itu ada di konstitusi juga. Tugas negara itu hanya mencatat memfasilitasi perkawinan itu. Itulah sebenarnya konsep hukum perdata dari perkawinan, untuk memiliki harta bersama, pajak, keabsahan anak, hak waris, dan seterusnya," ujar Bivitri.
Dilihat dari kacamata hukum, Undang-undang Perkawinan tidak secara eksplisit melarang dan membolehkan pernikahan beda agama.
Aturan yang lebih jelas mengenai pernikahan beda agama terdapat pada putusan Mahkamah Agung, seperti yang disebutkan sebelumnya, yang harus menggunakan putusan pengadilan sebelum dicatatkan di Disdukcapil.
"Karena prinsipnya, catatan sipil hanya mencatat, tapi yang mengesahkan adalah pengadilan atau otoritas agama, sesuai pasal 2 (Undang-undang Perkawinan)," kata Bivitri.
Post a Comment for "Cinta yang rumit karena Nikah Beda Agama Talak Tiga atau Pindah Agama?"