Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Nikah Mut'ah /Kawin Mut'ah

Nikah Mut'ah /Kawin Mut'ah 

Kawin mut'ah disebut juga kawin sementara atau kawin terputus, oleh karena laki-laki yang mengawini perempuannya itu untuk sehari, seminggu atau sebulan. Dinamakan kawin mutah karena lakilakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja, tidak untuk selamanya sampai hayat masih dikandung / berpisah / karena ajal telah tiba. Kawin seperti ini seluruh imam madzahab disepakati haramnya. Kata mereka: kawin mut'ah itu bila terjadi hukumnya tetap batal.

Zufar berpendapat kawin mut'ah jika disebut tegas-tegas batas waktunya, maka kawinnya sah, tetapi pembatasan waktunya yang bathal. Hal ini apabila di dalam ijab qabulnya digunakan kata-kata tazwij (kawin), tetapi kalau digunakan kata-kata mut'ah (sementara) maka ia sependapat dengan ulama-ualama lainnya tentang batalnya.

Para madzab yang mengharamkan kawin mut'ah itu berdasarkan dalil/ hadits di bawah ini:

Pertama. Kawin seperti tidak sesuai dengan perkawinan yang dimaksudkan oleh al-qur'an, juga tidak sesuai dengan masalah thalak, iddah, dan pusaka. Jadi kawin seperti ini batal sebagaimana bentuk perkawinan-perkawinan lain yang dibatalkan Islam.

Kedua. Banyak hadits-hadits yang dengan tegas menyebutkan haramnya. Misalnya hadits dari Saburah Al-Jahmy, bahwa ia pernah menyertai Rasulullah saw dalam perang penaklukan Mekkah dimana Rasululllah mengizinkan mereka kawin mut'ah.

Katanya : la (Saburah)tidak meninggalkan kawin mut'ah ini sampai kemudian diharamkan oleh Rasulullah. Dalam suatu lafads yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Rasulullah telah mengharamkan kawin mut'ah dengan sabdanya:

“Wahai manusia! Saya pernah mengizinkan kamu kawin mutah, Tetapi sekarng ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari kemudian.”

Dalam riwayat lainnya disebutkan:

“Dari Ali, Rasulullah saw. melarang kawin mut'ah pada waktu Kejadian khaibar dan melarang makan daging keledai penduduknya.”

Ketiga. Umar ketika menjadi kholifah dengan berpidato di atas mimbar mengharamkannya dan para sahabatnyapun menyetujinya

padahal mereka tidak mau menyetubuí sesuatu yang salah, andaikata mengharamkan kawin mut'ah itu salah.

Keempat. Al-Kattabi berkata : Haramnya kawin mut'ah itu sudah ijmaʼkecualu oleh beberapa golongan aliran Syi'ah,

Menurut kaidah mereka (golongan syi'ah)dalam persoalanpersoalan yang dipersalisihkan tidak ada dasar yang sah sebagai tempat kembali kecuali kepada Ali, padahal ada riwayat yang sah dari Ali kalau kebolehan kawin mutah sudah dihapuskan. Balhaqi meriwayatkan dari jaʼfar bin Muhammad ketika ia ditanya orang tentang kawin mut'ah jawabnya: sama dengan zina.

Kelima. Kawin mutah sekedar bertujuan pelampiasan syahwat, bahkan untuk mendapatkan anak dan memelihara anak-anak yang keduanya merupakan maksud pokok dari, perkawinan. Karena itu dia disamaka dengan zina, dilihat dari segi tujuan untuk sematamata bersenang-senang. Selain itu juga membahayakan perempuan, karena ia ibarat sebuah benda yang pindah dari satu tangan ke tangan lain, juga merugikan anak-anak masa depannya, karena mereka tidak mendapatkan rumah tempat untuk tinggal dan memperoleh pemeliharaan dan pendidikan dengan baik.

Diriwayatkan dari beberapa orang sahabat dan tabi'in bahwa kawin mut'ah itu halal, yang katanya dikenal sebagai riwayat dari Ibnu Abbas dan dalam kitab “Tahdzibus Sunnan”ditegaskan, bahwa Ibnu Abbas membolehkan kawin muťah ini bila diperlukan dalam keadaan darurat dan bukan membolehkan secara mutlak. Tetapi pendapat ini kemudian beliau cabut lagi ketika beliau mengetahui banyak orang melakukannya secara berlebih-lebihan. Jadi kawin mut'ah tetap haram bagi orang yang tidak ada alasan yang sah.

Al-Khattabi berkata; Said bin Jubair berkata: Saya pernah bertanya kepada Ibnu Abbas: Tahukah anda, apa yang anda perbuat dan anda fatwakan? Kini para khalifah telah mengikuti jejak fatwa tuan dan para ahli syair beranjak.

Jawab beliau: Apa kata mereka?

Jawab saya: Mereka berkata:

Aku berkata kepada syaikh yang telah lama meninggalkan istrinya wahai saudara! tahukah anda fatwanya Ibnu Abbas?: Tahukah anda yang mut'ah itu boleh.

Anda boleh bersenang-senang sampai kafilah pulang balik. Ibnu Abbas menjawab: Inna lillahi wainna ilaihi raji'un. Demi Allah saya tidak berfatwa begitu, dan tidak pula bermaksud begitu. Kalau toh aku menghalalkan, maka adalah seperti Allah menghalalkan bangkai, darah dan daging babi, yang barang-barangitu tidak halal kecuali bagi orang yang terpaksa. Dan kawin mutah itu ibarat bangkai, darah dan daging babi.

Imam Syaukani berkata: Sepenuhnya kami hanya berpegang kepada syari'at yang telah kami terima, bahwa menurut kami kawin mutah itu diharamkan untuk selama-lamanya. Adapun adanya sekelompok sahabat yang menyalahi hukum ini dapat berarti mencederakan hukum ini, dan kamipun tidak mendapatkan suatu alasan yang dapat dijadikan dasar untuk meringankan hukum kawin muťah, bagaimana mungkin kawin mut'ah ini bisa diberi keringanan padahal bagian terbesar para sahabat telah mengetahui betul haramnya dan merekapun menjauhinya dan meriwayatkan hadits-haditsnya pula kepada kita, bahkan Ibnu Umar pernah berkata dalam hadits riwayat Ibnu Majah dengan sanadnya Shahih:

"Bahwa Rasulullah saw. pernah mengizinkan kami untuk kawin mut'ah tiga hari, kemudian beliau larang. Demi Allah tak seorangpun saya ketahui melakukan kawin mut'ah padahal dia punya istri, kecuali akan saya rajam dengan batu.”

Post a Comment for "Nikah Mut'ah /Kawin Mut'ah"