APAKAH HUKUM ASAL SEGALA SESUATU ITU ?
APAKAH HUKUM ASAL SEGALA SESUATU ITU ?
DASAR pertama yang
ditetapkan Islam, ialah: bahwa asal sesuatu yang dicipta Allah adalah halal dan
mubah. Tidak ada satupun yang haram, kecuali karena ada nas yang sah dan tegas
dari syari' (yang berwenang membuat hukum itu sendiri, yaitu Allah dan Rasul)
yang mengharamkannya. Kalau tidak ada nas yang sah --misalnya karena ada
sebagian Hadis lemah-- atau tidak ada nas yang tegas (sharih) yang menunjukkan
haram, maka hal tersebut tetap sebagaimana asalnya, yaitu mubah.
Ulama-ulama Islam
mendasarkan ketetapannya, bahwa segala sesuatu asalnya mubah, seperti tersebut
di atas, dengan dalil ayat-ayat al-Quran yang antara lain:
"Dialah
Zat yang menjadikan untuk kamu apa-apa yang ada di bumi ini semuanya." (al-Baqarah: 29)
"(Allah)
telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di
bumi semuanya daripadaNya." (al-Jatsiyah: 13)
"Belum
tahukah kamu, bahwa sesungguhnya Allah telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang
ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi; dan Ia telah sempurnakan buat kamu
nikmat-nikmatNya yang nampak maupun yang tidak nampak." (Luqman: 20)
Allah tidak akan
membuat segala-galanya ini yang diserahkan kepada manusia dan dikurniakannya,
kemudian Dia sendiri mengharamkannya. Kalau tidak begitu, buat apa Ia jadikan,
Dia serahkan kepada manusia dan Dia kurniakannya?
Beberapa hal yang
Allah haramkan itu, justeru karena ada sebab dan hikmat, yang --insya Allah--
akan kita sebutkan nanti.
Dengan demikian arena
haram dalam syariat Islam itu sebenarnya sangat sempit sekali; dan arena halal
malah justeru sangat luas. Hal ini adalah justeru nas-nas yang sahih dan tegas
dalam hal-haram, jumlahnya sangat minim sekali. Sedang sesuatu yang tidak ada
keterangan halal-haramnya, adalah kembali kepada hukum asal yaitu halal dan
termasuk dalam kategori yang dima'fukan Allah.
Untuk soal ini ada
satu Hadis yang menyatakan sebagai berikut:
"Apa
saja yang Allah halalkan dalam kitabNya, maka dia adalah halal, dan apa saja
yang Ia haramkan, maka dia itu adalah haram; sedang apa yang Ia diamkannya,
maka dia itu dibolehkan (ma'fu). Oleh karena itu terimalah dari Allah
kemaafannya itu, sebab sesungguhnya Allah tidak bakal lupa sedikitpun."
Kemudian Rasulullah membaca ayat: dan Tuhanmu tidak lupa. (Riwayat Hakim dan Bazzar)
"Rasulullah
s.aw. pernah ditanya tentang hukumnya samin, keju dan keledai hutan, maka jawab
beliau: Apa yang disebut halal ialah: sesuatu yang Allah halalkan dalam
kitabNya; dan yang disebut haram ialah: sesuatu yang Allah haramkan dalam
kitabNya; sedang apa yang Ia diamkan, maka dia itu salah satu yang Allah
maafkan buat kamu." (Riwayat Tarmizi dan lbnu Majah)
Rasulullah tidak
ingin memberikan jawaban kepada si penanya dengan menerangkan satu persatunya,
tetapi beliau mengembalikan kepada suatu kaidah yang kiranya dengan kaidah itu
mereka dapat diharamkan Allah, sedang lainnya halal dan baik.
Dan sabda beliau
juga,
"Sesungguhnya
Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan
Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah
telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah
mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa,
maka jangan kamu perbincangkan dia." (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh
an-Nawawi)
Di sini ingin pula
saya jelaskan, bahwa kaidah asal segala sesuatu adalah halal ini tidak hanya
terbatas dalam masalah benda, tetapi meliputi masalah perbuatan dan pekerjaan
yang tidak termasuk daripada urusan ibadah, yaitu yang biasa kita istilahkan
dengan Adat atau Mu'amalat. Pokok dalam masalah ini tidak haram dan tidak
terikat, kecuali sesuatu yang memang oleh syari' sendiri telah diharamkan dan
dikonkritkannya sesuai dengan firman Allah:
"Dan
Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan atas kamu." (al-An'am: 119)
Ayat ini umum,
meliputi soal-coal makanan, perbuatan dan lain-lain.
Berbeda sekali dengan
urusan ibadah. Dia itu semata-mata urusan agama yang tidak ditetapkan,
melainkan dari jalan wahyu. Untuk itulah, maka terdapat dalam suatu Hadis Nabi
yang mengatakan:
"Barangsiapa
membuat cara baru dalam urusan kami, dengan sesuatu yang tidak ada contohnya,
maka dia itu tertolak." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Ini, adalah karena
hakikat AGAMA --atau katakanlah IBADAH-- itu tercermin dalam dua hal, yaitu:
1.
Hanya Allah lah yang disembah.
2.
Untuk menyembah Allah, hanya dapat
dilakukan menurut apa yang disyariatkannya.
Oleh karena itu,
barangsiapa mengada-ada suatu cara ibadah yang timbul dari dirinya sendiri
--apapun macamnya-- adalah suatu kesesatan yang harus ditolak. Sebab hanya
syari'lah yang berhak menentukan cara ibadah yang dapat dipakai untuk
bertaqarrub kepadaNya.
Adapun masalah Adat
atau Mu'amalat, sumbernya bukan dari syari', tetapi manusia itu sendiri yang
menimbulkan dan mengadakan. Syari' dalam hal ini tugasnya adalah untuk
membetulkan, meluruskan, mendidik dan mengakui, kecuali dalam beberapa hal yang
memang akan membawa kerusakan dan mudharat.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata: "Sesungguhnya sikap manusia, baik yang berbentuk omongan
ataupun perbuatan ada dua macam: ibadah untuk kemaslahatan agamanya, dan kedua
adat (kebiasaan) yang sangat mereka butuhkan demi kemaslahatan dunia mereka
Maka dengan terperincinya pokok-pokok syariat, kita dapat mengakui, bahwa
seluruh ibadah yang telah dibenarkannya, hanya dapat ditetapkan dengan
ketentuan syara' itu sendiri."
Adapun masalah Adat
yaitu yang biasa dipakai ummat manusia demi kemaslahatan dunia mereka sesuai
dengan apa yang mereka butuhkan, semula tidak terlarang. Semuanya boleh,
kecuali hal-hal yang oleh Allah dilarangnya Demikian itu adalah karena perintah
dan larangan, kedua-duanya disyariatkan Allah. Sedang ibadah adalah termasuk
yang mesti diperintah. Oleh karena itu sesuatu, yang tidak diperintah,
bagaimana mungkin dihukumi terlarang.
Imam Ahmad dan
beberapa ahli fiqih lainnya berpendapat: pokok dalam urusan ibadah adalah
tauqif (bersumber pada ketetapan Allah dan Rasul). Oleh karena itu ibadah
tersebut tidak boleh dikerjakan, kecuali kalau ternyata telah disyariatkan oleh
Allah. Kalau tidak demikian, berarti kita akan termasuk dalam apa yang
disebutkan Allah:
"Apakah
mereka itu mempunyai sekutu yang mengadakan agama untuk mereka, sesuatu yang
tidak diizinkan oleh Allah?" (as-Syura: 21)
Sedang dalam
persoalan Adat prinsipnya boleh. Tidak satupun yang terlarang, kecuali yang
memang telah diharamkan. Kalau tidak demikian, maka kita akan termasuk dalam
apa yang dikatakan Allah:
"Katakanlah!
Apakah kamu sudah mengetahui sesuatu yang diturunkan Allah untuk kamu daripada
rezeki, kemudian kamu jadikan daripadanya itu haram dan halal? Katakanlah!
Apakah Allah telah memberi izin kepadamu, ataukah kamu memang berdusta atas
(nama) Allah?" (Yunus: 59)
Ini adalah suatu
kaidah yang besar sekali manfaatnya. Dengan dasar itu pula kami berpendapat:
bahwa jual-bell, hibah, sewa-menyewa dan lain-lain adat yang selalu dibutuhkan
manusia untuk mengatur kehidupan mereka seperti makan, minum dan pakaian. Agama
membawakan beberapa etika yang sangat baik sekali, yaitu mana yang sekiranya
membawa bahaya, diharamkan; sedang yang mesti, diwajibkannya. Yang tidak layak,
dimakruhkan; sedang yang jelas membawa maslahah, disunnatkan.
Dengan dasar itulah maka manusia dapat melakukan jual-beli dan sewa-menyewa sesuka hatinya, selama dia itu tidak diharamkan oleh syara'. Begitu juga mereka bisa makan dan minum sesukanya, selama dia itu tidak diharamkan oleh syara', sekalipun sebagiannya ada yang oleh syara' kadangkadang disunnatkan dan ada kalanya dimakruhkan. Sesuatu yang oleh syara' tidak diberinya pembatasan, mereka dapat menetapkan menurut kemutlakan hukum asal.
Prinsip di atas,
sesuai dengan apa yang disebut dalam Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari, dari Jabir bin Abdillah, ia berkata:
"Kami
pernah melakukan 'azl' sedang waktu itu al-Quran masih turun; kalau hal tersebut dilarang, niscaya
al-Quran akan melarangnya."
Ini menunjukkan,
bahwa apa saja yang didiamkan oleh wahyu, bukanlah terlarang. Mereka bebas
untuk mengerjakannya, sehingga ada nas yang melarang dan mencegahnya.
Demikianlah salah
satu daripada kesempurnaan kecerdasan para sahabat.
Post a Comment for "APAKAH HUKUM ASAL SEGALA SESUATU ITU ?"